Dalam sejarahnya e-SPT sudah diperkenalkan ke Wajib Pajak sejak tahun 2002. Pada tahun tersebut e-SPT masih diperuntukan hanya untuk Wajib Pajak di wilayah KPP tertentu yaitu KPP WP Besar. Kemudian pada tahun 2005 penerapan e-SPT diberlakukan pada KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus yaitu KPP Penanaman Modal Asing (PMA), Badan dan Orang Asing (Badora). Dalam perkembangannya e-SPT digunakan oleh Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Madya dan Pratama.
e-SPT yang saat ini digunakan oleh Wajib Pajak mencakup :
1. | e-SPT Tahunan | |
a. | PPh Badan (baik Rupiah maupun Dollar) | |
b. | Perpanjangan Penyampaian SPT Tahunan | |
c. | PPh Orang Pribadi | |
2. | e-SPT Masa | |
a. | Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (1111, 1111DM, 1107) | |
b. | PPh Pasal 21/26 | |
c. | PPh Pasal 22 | |
d. | PPh Pasal 23/26 | |
e. | PPh Pasal 4 ayat 2 | |
f. | PPh Pasal 15 |
Perubahan kebijakan yang cukup signifikan terkait dengan e-SPT adalah kebijakan terkait dengan pelaporan PPh Pasal 21/26. Dengan diterbitkannya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER – 14/PJ/2013 pada tanggal 18 April 2013, maka mulai 1 Januari 2014 e-SPT PPh 21/26 wajib digunakan oleh pemotong pajak yang :
- melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT berkala dan/atau PNS, anggota TNI/POLRI, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
- melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
- melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
- melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.
Dengan kebijakan tersebut maka Wajib Pajak yang terdaftar dalam KPP Pratama dengan kriteria sebagaimana tersebut di atas mulai tahun 2014 akan menggunakan e-SPT sebagai sarana pelaporan PPh 21/26. Selain perubahan terkait kebijakan, aplikasi e-SPT PPh 21/26 banyak mengalami perubahan.
Pengembangan apllikasi e-SPT PPh 21/26 membutuhkan ketelitian yang cukup tinggi mengingat penghitungan PPh 21 bukanlah pekerjaan sederhana mengingat sifatnya yang subjektif dan variatif. Bukanlah pekerjaan mudah untuk mensinergikan pemahaman komprehensif mengenai penghitungan PPh 21 untuk masing-masing jenis pegawai dan jenis penghasilannya dengan logika dan bahasa program. Oleh karena itu, aplikasi e-SPT terus disempurnakan (perubahan yang bersifat mayor maupun minor) agar berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memberikan manfaat yang optimal bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban PPh 21/26 dan Direktorat Jenderal Pajak dalam mengadministrasikan pemenuhan kewajiban tersebut.
Pada kesempatan kali ini, tim redaksi ortax akan membahas beberapa permasalahan dalam aplikasi e-SPT PPh Pasal 21/26. Tim redaksi menggunakan e-SPT PPh 21/26 versi 2.2.0.1 yang merupakan versi terbaru dari e-SPT PPh 21/26 pada saat tulisan ini diterbitkan.
Berikut adalah permasalahan dalam e-SPT PPh 21/26 versi 2.2.0.1 :
Berdasarkan lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-31/PJ/2012 disebutkan bahwa pada saat pegawai dipindahtugaskan, pegawai yang bersangkutan tidak berhenti bekerja dari perusahaan tempat dia bekerja. Pegawai yang bersangkutan masih tetap bekerja pada perusahaan yang sama dan hanya berubah lokasinya saja. Dengan demikian dalam penghitungan PPh Pasal 21 tetap menggunakan dasar penghitungan selama setahun.
Contoh penghitungan:
Kasus 1
Try Dharmadi yang berstatus belum menikah adalah pegawai pada PT Nusantara Mandiri di Jakarta. Sejak 1 Juni 2013 dipindahtugaskan ke kantor cabang di Bandung. Gaji Try Dharmadi sebesar Rp3.500.000,00 dan pembayaran iuran pensiun yang dibayar sendiri sebulan sejumlah Rp100.000,00. Selama bekerja di PT Nusantara Mandiri Try Dharmadi hanya menerima penghasilan berupa gaji saja.
Gaji selama di cabang Jakarta (5 x Rp3.500.000,00) | Rp 17.500.000,00 | ||
Pengurangan | |||
1. | Biaya Jabatan : 5% x Rp17.500.000,00 | = Rp 875.000,00 | |
2. | luran pensiun 5 x Rp100.000,00 | = Rp 500.000,00 | |
Rp 1.375.000,00 | |||
Penghasilan neto lima bulan adalah | Rp 16.125.000,00 | ||
| |||
Penghasilan neto setahun: 12/5 x Rp16.125.000,00 | Rp 38.700.000,00 | ||
PTKP | |||
– untuk WP sendiri | Rp 24.300.000,00 | ||
Penghasilan Kena Pajak | Rp 14.400.000,00 | ||
| |||
PPh Pasal 21 terutang setahun : 5% x Rp14.400.000,00 | Rp 720.000,00 | ||
PPh Pasal 21 terutang Januari s.d Mei 2013: Rp720.000,00 : 12/5 | Rp 300.000,00 | ||
PPh Pasal 21 yang sudah dipotong | |||
masa Januari s.d. Mei 2013 adalah : 5 x Rp60.000,00 | Rp 300.000,00 | ||
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong | N I H I L |
Gaji (Januari s.d. Mei 2013) 5 x Rp3.500.000,00 | Rp 17.500.000,00 | ||
Pengurangan | |||
1. | Biaya Jabatan | ||
5% x Rp17.500.000,00 | = Rp 875.000,00 | ||
2. | luran pensiun | ||
5 x Rp100.000,00 | = Rp 500.000,00 | ||
Rp 1.375.000,00 | |||
Penghasilan neto 5 bulan adalah | Rp 16.125.000,00 | ||
Penghasilan neto disetahunkan: 12/5 x Rp16.125.000,00 | Rp 38.700.000,00 | ||
PTKP | |||
– untuk WP sendiri | Rp 24.300.000,00 | ||
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan | Rp 14.400.000,00 | ||
PPh Pasal 21 disetahunkan 5% x Rp14.400.000,00 = | Rp 720.000,00 | ||
PPh Pasal 21 terutang 5/12 x Rp720.000,00 = | Rp 300.000,00 |
Atas kasus penghasilan tidak teratur tersebut, penulis mencoba untuk membandingkan penghitungan menurut versi lama dan versi 2.2.0.1. Hasil penelitian penulis terdapat perbedaan penghitungan antara dua versi e-SPT tersebut, padahal ketentuan PER-31/PJ/2012 berlaku sejak 1 Januari 2013 yang meliputi dua tahun pajak pengujian tersebut (2013 dan 2014).
Kasus 2
Try Dharmadi yang berstatus belum menikah adalah pegawai pada PT Nusantara Mandiri di Jakarta. Sejak 1 Juni 2013 dipindahtugaskan ke kantor cabang di Bandung. Gaji Try Dharmadi sebesar Rp3.500.000,00 dan pembayaran iuran pensiun yang dibayar sendiri sebulan sejumlah Rp100.000,00. Pada bulan Maret 2013 memperoleh bonus sebesar Rp. 30.000.000,-
• | Penghasilan Neto untuk penghitungan PPh Pasal 21 yang disetahunkan sebesar Rp. 67.200.000,- didapat dari Penghasilan neto teratur yang disetahunkan ditambah Penghasilan neto tidak teratur = (17.500.000 – 875.000 – 500.000) * 12/5 + (30.000.000 – 1.500.000) = 67.200.000 |
• | PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Tariff progresif * Rp. 42.900.000 = Rp. 2.145.000,- |
• | PPh Pasal 21 terutang : PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur *) + PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur = Rp. 300.000 + (30.000.000 – 1.500.000)*0,05 = Rp. 1.725.000 |
Catatan :
*) PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur sebesar Rp. 300.000,- didapat dari kasus 1
• | Penghasilan Neto untuk penghitungan PPh Pasal 21 yang disetahunkan sebesar Rp. 67.200.000,- didapat dari : Penghasilan neto teratur yang disetahunkan + Penghasilan neto tidak teratur = (17.500.000 – 875.000 – 500.000) * 12/5 + (30.000.000 – 1.500.000) = 67.200.000 |
• | PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Tariff progresif * Rp. 42.900.000 = Rp. 2.145.000,- |
• | PPh Pasal 21 terutang : 5/12 *2.145.000 = Rp. 893.750 |
Versi baru 2.2.0.1
Ketika menghitung penghasilan neto yang disetahunkan, pada versi baru memiliki pola yang sama dengan versi lama yaitu memisahkan antara porsi penghasilan neto teratur yang disetahunkan dengan penghasilan tidak teratur. Namun penghitungan PPh Pasal 21 terutang justru langsung mengembalikan jumlah bulan pegawai tetap bekerja dibagi 12 dikali PPh terutang atas Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.
- Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan dan Sekaligus Kehilangan Kewajiban Pajak Subjektif
- Pegawai yang kehilangan kewajiban subjektifnya pada tahun berjalan karena meninggal dunia
Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi, tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagai berikut :
- dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
- dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
- selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
Melihat ketidakkonsisten penghitungan tersebut akan mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi Pemotong Pajak dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakan PPh Pasal 21 khususnya untuk pegawai yang dipindahtugaskan ke cabang maupun pusat.
Referensi :
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per – 31/PJ/2012 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 14/PJ/2013 Tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/Atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26